Aku mendengar kabar kalau Bibi Margaret masuk rumah sakit Jumat yang lalu. Beberapa hari sebelumnya memang bibi menelepon kalau ia tidak bisa memenuhi janjinya untuk berkunjung ke rumah karena merasa tidak enak badan.

Keesokan harinya aku mendengar kabar lagi bahwa Mario, anak bibi Margaret, juga masuk rumah sakit karena patah tulang pada betis dan pergelangan kakinya. Teman Mario secara tidak sengaja menendang kaki Mario saat turnamen futsal di sekolahnya. Mungkin saat ditendang, posisi kaki saudara sepupuku itu sedang tidak pas posisinya atau mungkin lawan main Mario itu benar-benar kuat mengingat tubuh Mario yang tinggi dan besar, bukan gemuk.

Aku tahu, kondisi fisik bibi Margaret belum pulih benar. Ia baru sehari opname di rumah sakit, tetapi ia harus merawat anak sulungnya di rumah sakit. Aku masih memandangi bibi Margaret. Sekarang ia memakaikan Mario kaos setelah beberapa menit yang lalu ia memapah Mario ke kamar mandi. Tak sedikitpun kulihat ekspresi sedih atau kelelahan di wajah bibi Margaret. Justru ia selalu mencairkan suasana dengan candaannya.

Kini pandanganku beralih pada nenek yang terbaring sakit di sebelah Mario.  Sejenak kemudian ia duduk dan mengambil sendiri makan siangnya di meja sebelah kasurnya. Tidak ada yang menyuapinya. Tidak ada yang mengunjungi atau bahkan keluarga yang menemaninya saat itu.

“Kasian nenek itu dek.” Ucap Bibi Margaret. Sepertinya bibi memergokiku memandangi nenek itu. Ia duduk disampingku.

“Kenapa Bi? Sakit apa nenek itu?” Tanyaku.

“Bibi juga nggak tau nenek itu sakit apa, nggak jelas. Anak-anaknya jarang ada yang menjenguk.” Ucap bibi Margaret. Memang hanya sekali aku melihat anak laki-laki nenek itu datang menjenguk, tapi itupun hanya sebentar.

“Pernah ada anaknya yang lain datang menjenguk.” Ucap Bibi Margaret melanjutkan cerita. “Tapi habis itu pamit mau belanja sebentar. Eh nggak taunya sampai sore nggak balik-balik. Apalagi kalau lihat ibunya sudah tidur, langsung ditinggal pergi tanpa pamit dulu.

Ada lagi anaknya yang lain. Saat ia datang, ibunya minta dipijati. Coba tebak apa yang dibilang sama si anak?” Bibi Margaret terdiam sejenak seperti memberiku waktu untuk menebak. Tapi aku diam tidak menjawab.

Ealah, aku mrene cuman dadi tukang pijet.” ucap Bibi Margaret menirukan ucapan si anak dengan bahasa Jawa yang artinya kurang lebih seperti ini, ya ampun, saya kesini cuma jadi tukang pijet. “Habis itu Bibi nggak pernah liat anak itu kesini lagi.”, lanjut bibi Margaret.

Peribahasa “Kasih sayang ibu sepanjang jalan, kasih sayang anak sepanjang galah.” kini terasa nyata bagiku. Dua pasien dari kamar nomor 36 Paviliun Lantana menjadi contohnya. Bagaimana kasih sayang seorang ibu tanpa kenal lelah merawat anaknya  tanpa kenal lelah bahkan disaat kondisinya sendiripun sedang terpuruk. Bersampingan namun kontras, pasien yang satunya justru kurang diperhatikan oleh anak-anaknya yang katanya ada tujuh. Bahkan tidak sampai separuh yang datang menjenguk.

Pikiranku kembali melayang memikirkan ibuku. Sedikitpun aku tak mau ibuku bernasib seperti nenek itu, dan aku berharap itu tak akan pernah terjadi. Aku menyesal sungguh menyesal, akhir-akhir ini aku bersikap dingin kepada ibuku. Perang dingin yang telah kulancarkan sejak tiga hari yang lalu ingin kuakhiri sekarang juga. Ingin aku pulang sekarang juga. Tapi mungkin aku masih gengsi meminta maaf, bingung juga harus menjelaskan kenapa aku meminta maaf padanya dan kenapa perang dingin yang berawal dari kekecewaanku terhadap ibu yang hapal semua makanan saudara-saudaraku sedangkan tidak dengan makanan kesukaanku. Terlalu memalukan menjelaskan itu semua. Aku hanya ingin pulang. Aku ingin mengecup pipinya dan berkata terima kasih. Terima kasih atas segalanya.

Aku mengeluarkan handphone dari sakuku. Kusentuh layar handphoneku, dan muncul layar dengan gambar bunga sepatu dan widget waktu tepat di bagian tengah.

Ah iya, sekarang tanggal 10 Mei.

Selamat hari ibu, ibuku. 
Isi pesan singkatku, untuknya.


One response to “Paviliun Lantana”

  1.  Avatar
    Anonymous

    Keren

    Liked by 1 person

What do you think?